Melihat Kembali Larangan Nabi Tentang Wanita Haid dan Mesjid

Mesjid adalah tempat suci yang diagungkan umat Islam. Sebutan sebagai “Rumah Allah” adalah bentuk untuk memuliakan tempat tersebut tanpa menganggap atau berarti Allah bertempat tinggal di sana. Hal itu mutlak dikarenakan mesjid menempati kedudukan yang mulia di sisi kaum muslimin.

Penulis ingin sedikit ‘ngobrol’ dengan pembaca sekalian terkait ahkam bagi wanita yang sedang haid yang memasuki mesjid, baik itu hanya sekedar lewat ataupun berdiam di dalamnya. Hal ini dengan memaparkan pendapat-pendapat ulama tentang tema tersebut. Tujuannya agar menjadi bahan diskusi untuk para penuntut ilmu jikalau nanti ada dari kita yang ditanyakan perihal ini.

Terkait permasalahan di atas, penulis menemukan bahwa para ulama dari empat mazhab (Al-Hanafiyah, Al-Malikiyyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah) telah sepakat tentang keharaman bagi wanita yang haid untuk berdiam lama di mesjid. Adapun jikalau sekedar ‘numpang lewat’ maka itu masih diperbolehkan. Hanya saja, harus memenuhi 2 syarat, yaitu:

1) Adanya kebutuhan mendesak atau al-hajah untuk memasuki mesjid
2) Tidak mengotori mesjid dengan darah haid.

Kalau untuk syarat poin kedua rasanya, hampir tidak mungkin terjadi untuk saat ini dikarenakan sudah banyak produk-produk yang menawarkan “anti bocor” bagi seorang wanita haid.

Lantas, apakah larangan bagi wanita haid berdiam lama di mesjid dikarenakan kekhawatiran akan keluarnya darah yang mengotori mesjid?

Bukan. Dan bukan juga karena wanita yang sedang haid dinilai tidak suci. Namun larangan itu lebih bersifat kepada adanya janabah atau hadas besar yang ada pada diri wanita tersebut. Jadi, ketidaksuciannya bukan terletak pada najis (darahnya)nya, melainkan pada hadasnya.

Itu karena, antara orang yang terkena najis dengan orang yang terkena hadas merupakan dua permasalahan yang berbeda. Orang yang terkena najis, asalkan najisnya terbungkus dan tidak berceceran keluar maka pada dasarnya dia diperbolehkan untuk memasuki mesjid, seperti luka dan wanita yang dalam keadaan istihadhoh. Adapun orang yang terkena hadas, sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan adanya najis atau tidaknya, melainkan karena keadaan seseorang yang terkena hadas tersebut. Seperti orang yang melakukan hubungan suami istri, tentu kita tidak menemukan adanya najis pada mereka jikalau mereka telah membasuh badan (bukan mandi junub). Tapi mereka berdua masih tetap dalam keadaan berhadas dan dilarang memasuki mesjid. Sekali lagi, harus dibedakan antara larangan yang bersifat adanya najis dan keadaan berhadas.

Meskipun demikian, memang ada dari kalangan ahli ilmu yang membolehkan wanita yang sedang haid untuk berdiam lama di mesjid, akan tetapi jumlah mereka yang memperbolehkan itu tidak sebanding dengan yang mengharamkan. Hanya segelintir saja. Bahkan penulis bisa mengatakan bahwa yang membolehkan itu berjumlah dua ahli ilmu, yang mana pendapat mereka tidak mewakili dari mazhab yang empat. Di antaranya syaikh Albani dan Syaikh Khalid Mushlih.

Demikian selengkapnya;

Dalil Mayoritas Ulama (Melarang)

Berikut ini adalah dalil-dalil yang digunakan mayoritas ulama dalam mengharamkan permasalahan di atas. Sudah barang tentu, sebenarnya, dalilnya banyak sekali. Di sini, hanya sebagian kecil saja.

1. Dari Al-Quran

Mayoritas ulama sepakat untuk menjadikan ayat ke-43 dari surat An-Nisa’ sebagai dalil dilarangnya wanita yang sedang haid untuk berdiam/bekumpul di mesjid.

Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar lewat saja hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa’ : 43)

Dari penjelasan ayat di atas, secara zahir yang dimaksudkan adalah larangan mendekati mesjid bagi yang sedang junub. Junub adalah hadas besar. Wanita yang sedang haid juga dinamakan berhadas besar. Maka ayat tersebut juga diarahkan kepada wanita yang sedang dalam keadaan haid. Artinya, seseorang yang sedang dalam keadaan berhadas besar (baik junub maupun haid) dilarang untuk memasuki mesjid.

Akan tetapi, kalau melihat dari pengecualian di ayat tersebut, kita bisa mengatakan bahwa tidak mengapa kalau hanya sekedar lewat jikalau memang ada keperluan yang mendesak. Meskipun di kalangan ulama berbeda pendapat tentang ma’na (إلا عابري سبيل). Sebahagian dari ulama menafsirkan ‘Kecuali hanya sekedar berlalu’, sebahagian lagi menafsirkan ‘kecuali bagi musafir’.

2. Sunnah Nabawiyyah

Keharaman bagi orang yang sedang berhadas besar untuk memasuki mesjid juga dikuatkan dengan dalil sunnah.
Dari bunda Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda ‘Tidak kuhalalkan mesjid bagi orang yang sedang junub dan haid’. (HR. Abu Daud)

Terkait dengan status hadits di atas, bagi kalangan yang membolehkan wanita yang sedang haid untuk memasuki mesjid berdalih bahwa hadis di atas adalah dhaif sehingga mereka jelas-jelas menolaknya karena status tersebut.
Adapun dari kalangan ulama tidak sependapat dengan kelompok yang mendhaifkan hadis di atas. Bagi kalangan yang mengharamkan bagi wanita haid untuk memasuki mesjid berpandangan bahwa hadis di atas bukan dalam kategori hadis dhaif, melainkan sebaliknya.

Dalil Pendapat Yang Membolehkan

Selain perihal dhaif dan tidaknya hadis di atas, mereka yang memperbolehkan wanita berdiam lama di mesjid juga berhujjah bahwa ada sebuah riwayat Rasulullah membolehkan Aisyah untuk masuk ke dalam mesjid guna mengambilkan untuk beliau sesuatu.

Dari Abu Hurairoh berkata bahwa ketika Rasulullah berada di mesjid, beliau berkata: “Wahai Aisyah, tolong ambilkan pakaianku. Kemudian Aisyah menjawab “Aku sedang dalam keadaan Haid wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah menjawab “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu”. Dan Aisyah pun mengambilkan pakaian Rasulullah.

Dari hadis di atas, kalangan ini beranggapan bahwa bunda Aisyah saja diperbolehkan oleh Baginda untuk masuk ke dalam mesjid, meskipun pada saat itu dalam keadaan haid. Hal ini dibantah oleh mayoritas ulama (Jumhur al-fuqoha’) bahwa pada hadis di atas memang baginda membolehkan Aisyah untuk masuk dan mengambilkan pakaian Rasulullah, tapi masuknya Aisyah ke dalam mesjid tersebut bukanlah berdiam lama, melainkan hanya sekedar lewat karena memang adanya al-hajah untuk masuk ke mesjid, yaitu hanya mengambilkan pakaian Rasulullah Saw.

Adapun kebolehan masuk ke mesjid, asalkan hanya sekedar lewat dan adanya keperluan sejak awal mayoritas ulama membolehkan hal tersebut.

Meskipun ada pendapat dari dua ahli ilmu (Syaikh Albani dan Syaikh Khalid Mushlih) yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama empat mazhab, perkataan mereka tidak mewakili mazhab yang mereka pegang, yaitu Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Allahu Ta’ala A’lamu bis Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *